Oleh: Adnan Mahdi
Al-Qur’an memperkenalkan dirinya antara lain sebagai hudan li al-nas dan sebagai kitab penerang agar manusia bisa keluar dari kegelapan menuju kehidupan yang terang benderang.[1] Proses mencapai kehidupan yang ideal tersebut, manusia harus mengikuti setiap petunjuk yang telah tersedia dalam al-Qur’an. Namun persoalannya, petunjuk-petunjuk itu masih bersifat umum, bahkan ada yang masih tersembunyi, sehingga diperlukan penafsiran untuk menemukannya.
Usaha menafsirkan al-Qur’an hingga saat ini telah banyak dilakukan kaum muslim dengan berbagai latar belakang keilmuan dan kepentingan sehingga telah melahirkan corak penafsiran yang sangat variatif. Contoh penafsiran di maksud, seperti tafsir sufi, tafsir falsafi, tafsir fiqhi, tafsir ‘ilmi, dan tafsir adabi.[2]Selain variasi corak tersebut, penafsiran al-Qur’an juga dilakukan dengan beragam metode, seperti metodetahlili, ijmali, muqaran dan metode maudu’i.[3] Menurut M. Quraish Shihab, di antara empat metode tersebut, yang paling populer digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an adalah metode tahlili danmetodemaudu’i.[4]
Metode tahlili merupakan metode yang digunakan untuk menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana tercantum di dalam mushaf. Dari metode tahlili ini, lahir beberapa tafsir terkemuka dengan corak penafsiran yang sangat variatif, seperti telah disebutkan sebelumnya.[5] Sedangkan metode maudu’i merupakan cara menafsirkan al-Qur’an yang didasarkan pada tema-tema yang dipilih untuk dibahas dan dianalisa kandungannya sehingga menjadi satu-kesatuan yang utuh. Adapun ulama tafsir yang menggunakan metode ini di antaranya Ibnu al-Qayyim dengan karyanya berjudul al-Tibyan fi Aqsam al-Qur’an,[6] Mahmud ‘Abbas al-Aqqad dengan karyanya al-Insan fi al-Qur’an dan al-Mar’ah fi al-Qur’an,[7] Abu al-A’la Al-Maududi dengan karyanya al-Riba,[8] dan sebagainya. Dalam konteks Indonesia, penafsiran al-Qur’an yang menggunakan metode maudu’i di antaranya Wawasan al-Qur’an karya M. Quraish Shihab, dan Ensiklopedi al-Qur’an karya M. Dawam Rahardjo.[9]
Hadirnya tafsir-tafsir dengan berbagai corak dan metode yang jumlahnya sudah cukup banyak hingga saat ini, tidak berarti al-Qur’an telah final ditafsirkan. Peluang untuk menafsirkan al-Qur’an tetap saja terbuka bagi siapa saja yang memiliki keinginan terhadapnya. Sebab, semakin kompleks persoalan manusia atau semakin majunya perkembangan zaman, usaha untuk memahami petunjuk Allah semakin terasa diperlukan.
Walau demikian, bukan berarti semua orang punya otoritas dan bebas untuk menafsirkan al-Qur’an. Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Misalnya seperti syarat yang diajukan Manna’ Khalil al-Qattan,[10] bahwa ada sembilan syarat yang harus dipenuhi seorang mufasir, yaitu: Akidah yang benar, bersih dari hawa nafsu, terlebih dahulu menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, mencari penafsiran dari sunnah, mencari pendapat sahabat jika tidak ditemukan dalam sunnah, mencari pendapat ulama jika tidak didapatkan dari sunnah dan sahabat, mengetahui bahasa Arab dengan segala cabangnya, mengetahui pokok-pokok ilmu yang berkaitan dengan al-Qur’an, dan memiliki pemahaman yang cermat dalam menafsirkan al-Qur’an.
Syarat yang ditujukan kepada seorang mufasir di atas bukan harga mati. Maksudnya, syarat itu bisa berubah sesuai perkembangan zaman. Pada masa lalu, syarat-syarat itu digunakan sebagai upaya kontrol agar tidak ada orang yang menafsirkan al-Qur’an tanpa memiliki kemampuan pada hal-hal yang dipersyaratkan, dengan tujuan agar tidak terjadinya kekeliruan dalam memahami al-Qur’an.[11] Sementara dewasa ini, fasilitas pendukung telah banyak tersedia untuk membantu dalam menafsirkan al-Qur’an,[12]sehingga persyaratan tersebut perlu dipertimbangkan atau dikaji ulang, agar semakin banyak lahirnya para mufasir dari berbagai keahlian.
Dawam Rahardjo adalah salah seorang muslim Indonesia yang telah menafsirkan al-Qur’an dengan metode tafsir maudu’i, padahal dia seorang ahli ekonomi dan sosial keagamaan. Jika dikaitkan dengan persyaratan untuk seseorang yang berhak menyandang gelar mufasir, Dawam Rahardjo mengakui belum memenuhi persyaratan tersebut. Kendatipun demikian, dengan modal pendidikan di Madrasah Diniyah yang secara formal sudah pernah belajar bahasa Arab seperti nahwu, sharf, balagah, tajwid, dan ilmu tafsir al-Qur’an, ditambah lagi dengan usahanya belajar secara otodidak dari buku-buku yang ia beli,[13] serta dibantu dengan terjemahan al-Qur’an dan buku relevan lainnya, Dawam Rahardjo telah berhasil menafsirkan 27 tema dalam al-Qur’an.
Tidak dipungkiri, apabila ada di antara ahli tafsir yang merasa keberatan bahwa karya Dawam Rahardjo yang berjudul Ensiklopedi al-Qur’an itu disebut tafsir. Hal ini seperti dikatakan M. Quraish Shihab bahwa tulisan Dawam Rahardjo itu lebih tepat disebut sebagai pemahaman seorang sarjana ilmu sosial terhadap al-Qur’an,[14] bukan sebuah tafsir. Memang, jika diukur dari metode maudu’i yang sesungguhnya, karya Dawam Rahardjo belum sepenuhnya memenuhi syarat. Namun, jika penekanan metode maudu’i bertitik tolak pada tema atau istilah-istilah dalam al-Qur’an,[15] maka tidak salah jika hasil karya Dawam Rahardjo itu disebut tafsir tematik dalam makna yang sangat sederhana.
Terlepas dari polemik tersebut, Nurcholish Madjid telah memberikan apresiasi terhadap karya Dawam Rahardjo. Menurutnya,[16] tafsir Dawam Rahardjo itu lazimnya seperti sebuah ensiklopedi yang menggunakan pendekatan melalui kata masukan (entries), kemudian ia menjelaskan makna kata itu sebagai simpul dari pandangan dan ajaran-ajaran keagamaan. Selain itu, penafsiran yang dilakukan Dawam Rahardjo juga memiliki nilai kreativitas yang dibentuk oleh lingkungan budaya Indonesia, sehingga memungkinkan lebih mudah dipahami dan dicerna oleh masyarakat Indonesia.
Selain itu, keunikan lainnya yang menarik untuk mendapat perhatian dari penafsiran Dawam Rahardjo adalah sikap rendah hati. Secara implisit ia mengakui bahwa dirinya tidak ahli dalam bidang bahasa Arab. Karena kelemahannya tersebut, dia tidak segan-segan bertanya kepada Ahmad Rifai Hasan yang diakuinya sebagai guru yang pandai berbahasa Arab serta menguasai ayat-ayat al-Qur’an. Dawam Rahardjo sering juga berkonsultasi dengannya tentang soal-soal bahasa dan muatan al-Qur’an.[17] Sikap dan strateginya ini tentunya langka atau jarang ditemukan pada mufasir lainnya, namun bagi Dawam Rahardjo hal itu menjadi suatu keharusan untuk menutupi kelemahan yang dimilikinya.
Dari sikap dan strategi yang dilakukannya itu, peneliti menilai bahwa Dawam Rahardjo memiliki semangat yang luar biasa untuk menafsirkan al-Qur’an. Kelemahan yang ia miliki tidak menjadi halangan yang bisa mengurungkan niatnya untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Menurut hemat peneliti, begitulah seharusnya sikap yang patut dimiliki oleh setiap mufasir, dan hal itu bisa menjadi sebuah wacana yang dapat ditawarkan sebagai salah satu syarat bagi setiap muslim yang berniat menafsirkan al-Qur’an.
Berdasarkan beberapa keunikan itulah, peneliti tertarik untuk menjadikan karya Dawam Rahardjo yang berjudul Ensiklopedi al-Qur’an sebagai obyek penelitian. Harapan peneliti, penelitian ini dapat membuka cakrawala baru dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an bagi mufasir berikutnya, sehingga pesan atau petunjuk Ilahi yang masih tersembunyi dapat diungkap dan diejawantahkan untuk menuju kehidupan yang lebih terang benderang dan bermartabat.
[1]Lihat Q.S. al-Baqarah (2): 185, artinya: “…bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al–Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)…”. Lihat Q.S. Ibrahim (14) : 1, artinya: “…(Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”.
[2]Contoh tafsir sufi adalah Tafsir al-Qur’an al-‘Azim karangan Imam al-Tustury. Contoh tafsir falsafiadalah Mafatih al-Gaib karangan al-Fakhr al-Razi. Contoh tafsir fiqhi adalah Ahkam al-Qur’an karangan al-Jasshash. Contoh tafsir ‘ilmi adalah al-Islam Yata’adda, karangan al-‘Allamah Wahid al-Din Khan. Contohtafsir adabi adalah Tafsir al-Manar karangan Muhammad Abduh dan Rasyid Rid}a. Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an; Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm. 69-71.
[3]Metode ijmali digunakan pada masa Rasulullah dan sahabat, metode tahlili digunakan dalam Tafsir al-Thabari, metode muqaran digunakan oleh al-Iskafi dalam kitab Durrat al-Tanzil wa Ghurrat al-Ta’wil dan al-Karmani dalam Al-Burhan fi Taujih Mutasyabah al-Qur’an, sedangkan metode maudu’i pertama kali digunakan oleh Ahmad al-Kumy. Lihat penjelasan terpisah dalam Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 3-7.
[4]M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peranan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 86.
[5]Corak penafsiran yang lahir dari metode tahliliy, di antaranya adalah tafsir bi al-ma’tsur, tafsir bi al-ra’yi, tafsir shufi, tafsir falsafi, tafsir fiqhi, tafsir ‘ilmi dan tafsir adabi. Lihat Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an…, hlm. 69.
[6]Lihat Ibnu al-Qayyim, al-Tibyan fi Aqsam al-Qur’an, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001).
[7]Mahmud ‘Abbas al-Aqqad merupakan salah seorang murid Muhammad ‘Abduh, yang lahir pada tanggal 28 Juni 1889, di Mesir. Ia adalah seorang penulis yang sangat produktif, pemikir dan cendekiawan yang dinilai progresif dan moderat. Lihat Heri Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam: Dari Abu Bakr Sampai Nashr dan Qadawi, (Bandung: Hikmah, 2003), hlm. 221-225.
[8]Abu al-A’la al-Maududi, ar-Riba, (Lahore: Islamic Publication, 1951).
[9] Ahmad Farhan, Penafsiran Al-Qur’an Muh{ammad Al-Ghazali dalam Kitab Nahwa Tafsir Maudu’i li Suwar Al-Qur’an Al-‘Azim, Tesis, (Yogyakarta: PPS UIN Sunan Kalijaga, 2007), hlm. 6.
[10]Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, terj. Mudzakir AS, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2007), hlm. 462-465.
[11]Seperti kritik Quraish Shihab terhadap penafsiran Musthafa Mahmud mengenai larangan Tuhan kepada Adam dan Hawa “mendekati pohon” sebagai larangan untuk melakukan hubungan seksual. Menurut Mahmud, redaksi ayat sebelum mendekati pohon adalah berbentuk mutsanna (dual), yaitu jangan kamu berdua mendekati pohon ini (Q.S. al-Baqarah (2) : 35), tetapi setelah memakannya (berhubungan seksual), redaksi ayat berubah menjadi jamak, yaitu: turunlah kamu semua dari surga… (Q.S. al-Baqarah (2) : 36). Penafsiran seperti itu, menurut Quraish Shihab, bertentangan dengan teks ayat dan kaidah kebahasaan. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an…, hlm. 98.
[12]Fasilitas pendukung dimaksud, antara lain: al-Qur’an digital, program Maktabah Syamilah, program terjemahan al-Wafi, program al-Jami’ al-Kabir, dan sebagainya.
[13]Hal ini seperti diakui Dawam Rahardjo bahwa dirinya belum sepenuhnya melaksanakan sistem penafsiran, dengan segala keterbatasan yang ia miliki. Lihat M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. xx.
[14]Ibid.
[15]Menurut Dawam Rahardjo, tafsir maudu’i dapat diklasifikasikan pada tiga titik tolak, yaitu: bertolak dari konsep ilmu sosial dan budaya atau filsafat sosial, bertolak dari istilah-istilah dalam al-Qur’an, dan bertolak dari istilah-istilah dan pengertian yang timbul dari ilmu keislaman tradisional. Ibid., hlm. 5-7.
[16]Lihat Kata Sambutan Nurcholish Madjid dalam buku Dawam Rahardjo Ensiklopedi Al-Qur’an. Ibid., hlm. xxvii.
[17]Ibid., hlm. xxii.
Tulisan ini adalah bagian dari TESIS saya dengan judul: Penafsiran al-Qur’an M. Dawam Rahardjo; Studi Terhadap Buku Ensiklopedi Al-Qur’an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci