Oleh: Adnan Mahdi
A. Pendahuluan
Menjelang pesta demokrasi yang akan digelar pada tanggal 9 April 2009, masing-masing partai politik membuat beragam sensasi dan trik agar dapat memenangkan pemilu. Mulai dari cara sosialisasi partai, pembuatan dan pemasangan poster caleg, berziarah ke kuburan ulama, hingga ada partai yang meminta bantuan dan dukungan kepada ulama. Salah satu bentuk dari dukungan dimaksud adalah fatwa tentang Golput. Permintaan partai terkait Golput tersebut terungkap dari hasil wawancara Koran Sinar Harapan kepada Ketua MUI KH Ma’ruf Amin. Berdasarkan pengakuan ketua MUI, ternyata ada partai Islam yang meminta fatwa MUI terkait dengan Golput tersebut.
Tepatnya pada hari Minggu, tanggal 25 Januari 2009, Majelis Ulama Indonesia melakukan sidang Ijtima ke-III yang digelar di Padang Panjang, Sumatera Barat. Berdasarkan hasil sidang yang dihadiri sekitar 750 orang ulama tersebut, disepakati lima point penting sebagai berikut:
- Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.
- Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama.
- Imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujudnya kemashlahatan dalam masyarakat.
- Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), ter-percaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib.
- Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.
Setelah keluarnya fatwa MUI tersebut, banyak tanggapan pro dan kontra dari berbagai kalangan. Ada yang sependapat dengan fatwa MUI itu dengan alasan agar ada wakil dari umat Islam yang duduk di DPR. Selain itu, ada pula pendapat yang tidak setuju dengan fatwa MUI tersebut karena Golput berkaitan dengan hak memilih, bukan wajib memilih. Di samping itu, masih banyak lagi beragam pendapat terkait dengan keluarnya fatwa MUI tentang Golput pada Pemilu 2009 nanti.
Sehubungan dengan persoalan Golput tersebut, muncul kegelisahan intelektual pada penulis untuk mengkaji dan menelusuri dasar-dasar fatwa MUI tentang haramnya Golput. Kajian ini nantinya hanya difokuskan pada perspektif Hadits. Setelah menemukan hadits yang relevan dengan fatwa MUI tersebut, selanjutnya hadits itu akan dikaji dari aspek kualitasnya, konteks historisnya secara mikro dan makro, serta akhirnya akan dikaji dari konteksnya pada saat kekinian. Untuk lebih jelasnya pembahasan dimaksud, akan penulis uraikan secara rinci di bawah ini.
B. Golongan Putih (Golput) Haram
Golongan Putih atau sering disebut Golput pada awalnya merupakan gerakan moral (moral forces) melawan rezim Orde Baru yang mencederai demokrasi. Golput (Non Voting Behaviour) di Indonesia muncul pertama kali dikomandoi Arief Budiman tahun 1971 atau sebulan sebelum pemilu. Arief Budiman dan aktivis muda serta mahasiswa dengan lantang melawan kediktatoran Orde Baru yang memaksakan kehendak pada rakyat memilih Golkar selaku kendaraan politik Soeharto dan kroninya. Saat itu pula Orde Baru melarang berdirinya PSI dan Masyumi sebagai representasi parpol Islam. Gerakan Golput ini harus dibayar mahal karena 34 eksponen ditahan pemerintah Orde Baru.
Beranjak dari realitas sejarah di atas, dapat dipahami bahwa Golput merupakan sebuah gerakan moral yang muncul akibat mandulnya keran demokrasi di negeri ini. Dengan demikian, berarti seseorang yang memilih Golput adalah bagian dari hak dirinya sebagai warga Negara. Dalam logika demokrasi, memilih atau tidak memilih adalah hak. Dalam perspektif ilmu hukum, hak (right) adalah peran seseorang yang mempunyai sifat fakultatif. Memilih adalah hak politik warga negara yang by nature, mengandung arti legal or moral entitlement (authority to act). Ini mengandung kebebasan pemilik hak untuk menggunakannya atau tidak, bukan kewajiban (duty) yang mengandung makna moral or legal obligation.
Berdasarkan uraian di atas, sangat jelas bahwa memilih adalah hak warga Negara, bukan kewajiban. Namun dalam pandangan MUI, bahwa memilih pemimpin adalah suatu kewajiban. Apabila seorang muslim tidak menggunakan hak pilihnya, padahal ada calon pemimpin yang memenuhi syarat, seperti: orangnya beriman dan bertakwa, jujur, terpercaya, aktif dan aspiratif, mempunyai kemampuan, dan memperjuangkan kepentingan umat Islam, maka hukumnya adalah haram.[1] Menurut wakil ketua koordinator MUI Madura, KH. Akhmad Safraji, selain atas kesepatan sebagian besar ulama, fatwa haram tentang Golput tersebut juga berdasarkan al-Quran dan Hadis.[2] Namun sayangnya, dasar al-Qur’an dan Hadits yang disebutkan itu tidak dicantumkan pada hasil fatwa MUI. Untuk itu, dalam makalah ini akan ditelusuri hadits yang relevan dengan pengharaman Golput tersebut.
- Hadits yang Dinilai Relevan dengan Fatwa MUI tentang Golput
Berdasarkan pencarian dan penelaahan terhadap hadits-hadits yang ada, ditemukan satu hadits yang dianggap cukup relevan dengan dasar fatwa MUI untuk mengharamkan Golput. Dasar pengharaman tersebut dikaitkan dengan adanya pemimpin yang memenuhi syarat, namun tidak dipilih, karena orang muslim tersebut tidak menggunakan hak pilihnya alias Golput. Adapun teks hadits dimaksud berbunyi sebagai berikut:
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْحَنْظَلِىُّ أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا الأَوْزَاعِىُّ عَنْ يَزِيدَ بْنِ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ عَنْ رُزَيْقِ بْنِ حَيَّانَ عَنْ مُسْلِمِ بْنِ قَرَظَةَ عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم- قَالَ: خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ. قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ: لاَ مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلاَةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ.[3]
حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ رُشَيْدٍ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ يَعْنِي ابْنَ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ أَخْبَرَنِي مَوْلَى بَنِي فَزَارَةَ وَهُوَ رُزَيْقُ بْنُ حَيَّانَ أَنَّهُ سَمِعَ مُسْلِمَ بْنَ قَرَظَةَ ابْنَ عَمِّ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ يَقُولُ سَمِعْتُ عَوْفَ بْنَ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيَّ يَقُولُ :سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قَالُوا قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ عِنْدَ ذَلِكَ قَالَ لاَ مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلاَةَ لاَ مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلاَةَ أَلاَ مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالٍ فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ وَلاَ يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَة.ٍ[4]
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ إِسْحَاقَ قَالَ أَنْبَأَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ أَخْبَرَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ قَالَ حَدَّثَنِي زُرَيْقٌ مَوْلَى بَنِي فَزَارَةَ عَنْ مُسْلِمِ بْنِ قَرَظَةَ وَكَانَ ابْنَ عَمِّ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ سَمِعْتُ عَوْفَ بْنَ مَالِكٍ يَقولُ :سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ مَنْ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ عِنْدَ ذَلِكَ قَالَ لاَ مَا أَقَامُوا لَكُمْ الصَّلاَةَ أَلاَ وَمَنْ وُلِّيَ عَلَيْهِ أَمِيرٌ وَالٍ فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ فَلْيُنْكِرْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ وَلاَ يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ.[5]
أَخْبَرَنَا الْحَكَمُ بْنُ الْمُبَارَكِ أَخْبَرَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحَمْنِ بْنِ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ قَالَ أَخْبَرَنِى زُرَيْقُ بْنُ حَيَّانَ مَوْلَى بَنِى فَزَارَةَ أَنَّهُ سَمِعَ مُسْلِمَ بْنَ قَرَظَةَ الأَشْجَعِىَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عَوْفَ بْنَ مَالِكٍ الأَشْجَعِىَّ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ :« خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ ، وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ ، وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ ». قُلْنَا : أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ عِنْدَ ذَلِكَ؟ قَالَ :« لاَ ، مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلاَةَ ، أَلاَ مَنْ وُلِّىَ عَلَيْهِ وَالٍ فَرَآهُ يَأْتِى شَيْئاً مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِى مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ ، وَلاَ يَنْزِعَنَّ يَداً مِنْ طَاعَةٍ.[6]
Selain rujukan hadits dari kitab-kitab di atas, masih ada beberapa kitab syarah yang memaparkan atau membahas hadits tersebut.
- Makna Hadits secara Tekstual
Secara tekstual, terjemahan dari hadits pertama di atas adalah sebagai berikut:
Artinya: Rasulullah SAW bersabda: “(Pilihlah) pemimpin yang terbaik bagimu, yaitu pemimpin yang kamu cintai dan mereka mencintaimu; mereka mendo’akanmu dan kamu juga mendo’akan mereka. Sedangkan sejelek-jelek pemimpin bagimu adalah pemimpin yang kamu benci dan mereka membencimu, yang kamu laknat dan mereka melaknatmu. Para sahabat bertanya: wahai Rasulullah, bolehkah kami memerangi mereka dengan pedang? Beliau menjawab, Tidak, selama mereka mendirikan shalat. Dan jika kamu melihat dari pemimpinmu sesuatu yang tidak kamu sukai, maka bencilah perbuatannya (saja); dan janganlah kamu keluar dari ketaatan kepadanya”.
Berdasarkan hadits di atas, dapatlah ditegaskan bahwa kriteria seorang pemimpin yang baik dan layak untuk dipilih adalah pemimpin yang dicintai rakyat dan dia juga mencintai rakyatnya. Pemimpin yang seperti itu tentunya pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam, seperti yang disyaratkan oleh MUI pada butir ke-4 dalam fatwanya.
- Kualitas Hadits yang Digunakan
Setelah menguraikan matan dan terjemahan hadits secara tekstual di atas, selanjutnya akan dilakukan pembahasan terhadap kualitas hadits berikut ini.
Aspek Sanad
Kajian hadits dari aspek sanad, setidaknya mengikuti kaidah yang lazim digunakan oleh para muhadditsin. Suatu hadits dianggap shahih apabila diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil dan dhabith sampai akhir sanad.[7] Berangkat dari kaidah tersebut, akan dilakukan kajian terhadap sanad pada hadits utama yang dibahas dalam makalah ini.
Berdasarkan hadits Shahih Muslim nomor 4910 dalam Maktabah Syamilah Hadits atau dalam Imam al-Mundziri nomor hadits 1228, diketahui runtutan sanadnya sebagai berikut: (1) Ishaq ibn Ibrahim ibn Mukhallid ibn Ibrahim ibn Muthar Al-Handzali, (2) Abu Amru As-Syaibani, (3) Ibrahim ibn Adham ibn Mansyur ibn Yazid ibn Jabir Al-‘Ajali, (4) Raziq ibn Hayyan Ad-Damsyiqy Al-Fazari, (5) Muslim ibn Qurdzah Al-Asja’i Asy- Syamy, dan (6) Abu Waqid Al-Laitsi Al-Madani.
Berdasarkan komentar atau penegasan dari Ibnu Hajar, ia menjelaskan bahwa Ishaq ibn Ibrahim termasuk orang yang tsiqah, hafidz dan mujtahid. Abu Amru As-Syaibani dinilai Ibnu Hajar sebagai orang maqbul, Ibrahim ibn Adham dinilainya orang yang shiddiq, Raziq ibn Hayyan dinilainya tsiqah, Muslim ibn Qurdzah dinilainya tsiqah, sedangkan pada tingkatan sahabat yaitu Abu Waqid Al-Laitsi Al-Madani tergolong orang yang ‘adil.
Sedangkan hadits Shahih Muslim nomor 3448 dalam Maktabah Syamilah memiliki jalur sanad yang berbeda. Adapun sanad-sanadnya adalah: (1) Daud ibn Rasyid Al-Hasyimi, (2) Ziad ibn Abi Muslim, (3) Abdurrahman ibn Yazid ibn Jabir Al-Azadi, (4) Raziq ibn Hayyan Ad-Damsyiqy Al-Fazari, (5) Muslim ibn Qurdzah Al-Asja’i Asy- Syamy, dan (6) Auf ibn Malik ibn Auf Al-Asyja’i Al-Ghothafany Abu Hammad.
Berdasarkan komentar atau penegasan dari Ibnu Hajar, dia menjelaskan bahwa Daud ibn Rasyid Al-Hasyimi tergolong tsiqah, Ziad ibn Abi Muslim tergolong shiddiq walau ada kelemahannya, Abdurrahman ibn Yazid tergolong tsiqah, Raziq ibn Hayyan Ad-Damsyiqy tergolong shiddiq, Muslim ibn Qurdzah tergolong maqbul, dan Auf ibn Malik ibn Auf Al-Asyja’i tergolong sahabat yang ‘adil.
Berdasarkan data di atas, ada dua jalur sanad yang memiliki kesinambungan hingga sampai kepada Rasulullah. Sedangkan dari segi kriteria sanad, sebagian besar tergolong tsiqah, kemudian ada juga sebagian kecil yang memiliki tingkatan shiddiq dan maqbul. Berdasarkan kajian tersebut dapat disimpulkan bahwa hadits riwayat Muslim di atas tergolong shahih. Adapun hadits yang bersumber dari riwayat Musnad Ahmad dan Sunan Ad-Dharamy juga tergolong shahih, karena berdasarkan data sanad dalam Maktabah Syamilah, hanya satu orang yang tergolong maqbul (Muslim ibn Quradzah), dua orang tergolongshiddiq (Raziq ibn Hayyan dan Al-Hakim ibn Mubaraq), dan lainnya tergolong tsiqah. Dengan demikian, jelaslah hadits yang dibahas adalah shahih.
Ketersambungan Sanad
Berdasarkan hadits-hadits yang telah dipaparkan di atas, dapat dikatakan bahwa semua sanadnya bersambung. Hal ini dapat dilihat atau ditunjukkan dari keterhubungan antara guru dan murid sehingga tidak ada yang terputus atau hidup berlainan zaman.
Aspek Matan
Hadits yang dibahas pada makalah ini tergolong hadits yang shahih. Berdasarkan pengetahuan penulis, belum pernah ditemukan adanya buku atau ulama muhadditsin yang menyatakan hadits itu maudhu’. Penulis juga belum pernah menemukan adanya buku yang menyatakan bahwa hadits di atas memiliki kejanggalan (syudzudz) atau cacat (‘illat). Bahkan jika hadits di atas dikaitkan dengan salah satu hadits yang berhubungan dengan shalat, maka hadits di atas sangat relevan. Adapun hadits di maksud adalah hadits yang berbicara tentang perbedaan antara seorang muslim dengan kafir hanyalah shalatnya.
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ كِلاَهُمَا عَنْ جَرِيرٍ قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا جَرِيرٌ عَنْ الأَعْمَشِ عَنْ أَبِي سُفْيَانَ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرًا يَقُولُ : سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاَةِ
Artinya: Diriwayatkan dari Jabir ra., ia berkata: Saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Batas antara seseorang dengan syirik dan kafir adalah meninggalkan shalat”.[8]
Maksud hadits di atas adalah seseorang tergolong musyrik dan kafir, ketika ia telah meninggalkan atau tidak shalat sama sekali. Jika hadits ini dikaitkan dengan larangan Nabi SAW untuk memerangi pemimpin yang dzalim di atas lantaran dia masih melakukan shalat, maka tidak ada kejanggalan atau cacat pada matannya.
Selain dari aspek shalat, matan hadits di atas bisa juga dikaji pada aspek ketaatan kepada pemimpin, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra., dari Nabi SAW: “Seorang muslim wajib mematuhi perintah yang dia sukai dan yang tidak dia sukai, kecuali jika dia diperintah berbuat maksiat. Jika diperintah berbuat maksiat, maka tidak boleh patuh”.[9]
Hadits ini tentunya tidak bertentangan dengan hadits di atas, karena pada prinsipnya setiap orang harus taat kepada pemimpinnya, walaupun yang diperintahkan pemimpinnya adalah sesuatu yang tidak disenangi. Akan tetapi, jika perintah pimpinan itu berkaitan dengan kedurhakaan kepada Allah, maka tidak wajib baginya untuk mematuhi perintah pimpinannya.
Berdasarkan kajian matan di atas, jelaslah bahwa hadits yang dibahas dalam makalah ini tidak ada kejanggalan atau cacat pada matannya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hadits yang dimaksud termasuk hadits yang shahih.
- Tinjauan Konteks Histories Hadits secara Makro dan Mikro
Hadits yang sedang di bahas memiliki latar belakang yang sama dengan hadits-hadits setema lainnya. Hadits tersebut berkaitan adanya pertanyaan yang dikemukakan oleh seorang sahabat yang bertanya pada Rasulullah SAW tentang penguasa atau pemimpin yang hanya meminta haknya saja, sementara hak rakyatnya tidak dipenuhinya. Dalam hal ini Rasulullah masih mewajibkan mereka untuk melaksanakan kewajibannya sebagai rakyat, karena seorang pemimpin juga wajib untuk melaksanakan kewajibannya sebagai pemimpin.
Terkait dengan kejadian tersebut, pada suatu waktu Rasulullah pernah berkata, bahwa seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang menyayangi rakyatnya dan rakyatnya sangat sayang kepadanya. Pemimpin yang seperti itulah yang harus dipilih, agar rakyat merasa damai dan memperoleh kesejahteraan atas kepemimpinannya.
Ilustrasi munculnya hadits di atas jika dikaitkan dengan realitas kehidupan masyarakat muslim pada masa Rasulullah, tentu tidak dapat digeneralisasikan. Sebab, tidak semua pengangkatan pemimpin wilayah atau tugas sesuatu pada waktu itu didasarkan pada kehendak rakyatnya, tetapi ada yang langsung ditunjuk oleh Rasulullah berdasarkan penilaian-nya atau atas masukan dari sebagian sahabatnya. Misalnya saja ketika Rasulullah hijrah kedua, Dia menunjuk langsung Abu Lubaba dari Rauha’ untuk menjadi pemimpin di Medinah.[10] Kendati demikian, tidak berarti bahwa realitas sejarah tidak sesuai dengan hadits yang sedang dibahas sehingga ada kecenderungan hadits tersebut palsu. Karena sebagaimana diketahui, konteks hadits tersebut ada kaitannya dengan pengangkatan seorang komandan perang yang menyuruh anak buahnya untuk masuk atau menerjang api, sementara anak buahnya tidak mematuhinya. Hal ini tentunya mendapat respon dari Rasulullah, bahwa seseorang boleh patuh kepada pemimpinnya selama tidak untuk maksiat kepada Allah dan mudharat untuk dirinya sendiri.
Sehubungan dengan konteks lahirnya hadits dan realitas hidup masyarakat pada masa Rasulullah, maka dapat diyakini bahwa hadits di atas benar-benar bersumber dari Rasulullah, bukan hadits palsu.
- Intisari Hadits
Secara umum, ada tiga intisari dari hadits riwayat Muslim di atas. Pertama, berkaitan dengan memilih seorang pemimpin, apakah yang ingin dipilih adalah pemimpin yang baik atau yang tidak baik. Kedua, berkaitan dengan larangan memerangi pemimpin yang jahat selama ia masih mengerjakan shalat. Ketiga, berkaitan dengan ketaatan kepada pemimpin, meskipun pemimpin itu bukan orang baik. Dari ketiga pesan atau intisari hadits tersebut, yang akan dibahas secara fokus hanyalah intisari yang pertama, karena intisari tersebut sangat berkaitan dengan fatwa MUI mengharamkan Golput.
- Kontekstualisasi Hadits dengan Fatwa MUI
Golongan Putih atau Golput adalah orang yang tidak memilih dalam pemilu. Menurut para pakar, Golput itu ada tiga macam, yaitu: Golput Administratif, Golput Teknis, dan Golput Ideologis. Adapun Golput Administratif adalah orang yang tidak memilih karena masalah administratif. Mereka adalah orang-orang yang secara hukum berhak memilih, tetapi namanya tidak tercantum dalam daftar pemilih. Golput Teknis adalah orang yang tidak memilih karena masalah teknis, seperti sakit berat, gangguan dari alam atau yang lainnya. Sedangkan Golput Ideologis adalah orang yang secara hukum maupun teknis sebenarnya tidak ada kendala, tetapi dia sengaja tidak menggunakan hak pilihnya karena pertimbangan tertentu. Misalnya, tidak percaya kepada calon-calon yang ada, atau tidak percaya lagi kepada sistem atau mekanisme pemilihan yang ditetapkan oleh pemerintah atau penyelenggara pemilu, dan sebagainya.[11] Dari ketiga jenis Golput ini, yang relevan dengan fatwa MUI bahwa Golput haram adalah Golput Ideologis.
Sebenarnya, apa yang mendasari fatwa MUI sehingga Golput itu diharamkan, dan bagaimana pula prosedur MUI dalam mengambil atau memutuskan suatu hukum?
Sebelum menjelaskan dasar fatwa MUI mengharamkan Golput, perlu dijelaskan terlebih dahulu prosedur yang digunakannya. Secara teoritis, MUI mempunyai pedoman bahwa dasar pengeluaran fatwa ialah meneliti secara tuntas dasar atau argumen dari al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Namun pada kenyataannya, prosedur itu tidak diikuti secara konsisten. Ada fatwa yang langsung saja melihat hadits tanpa meninjau argumen al-Qur’an terlebih dahulu, ada pula yang langsung mengutip teks suatu kitab fiqih tanpa melihat tiga sumber sebelumnya, bahkan ada pula fatwa yang tidak memberikan argumen sama sekali dan langsung saja kepada pernyataan fatwa itu sendiri. Contoh saja fatwa tentang film the message yang dikeluarkan pada tanggal 23 Maret 1980. Fatwa itu menyatakan bahwa film tersebut boleh diimpor dan diedarkan kepada publik karena gambar Nabi Muhammad tidak diperlihatkan di dalamnya, tanpa menyertakan dasar dalilnya.[12]
Peristiwa tersebut terjadi lagi pada saat ini, MUI memfatwakan bahwa Golput itu haram tanpa menjelaskan dan menyertakan dasar nash atau dalil aqlinya. Kondisi seperti ini tentu bisa membingungkan umat, karena tanpa tahu alasannya fatwa tersebut dikeluarkan. Dasar yang mendorong MUI membahas dan mengeluarkan fatwanya tentang Golput tersebut karena atas permintaan masyarakat dan partai politik. Jika hal ini benar adanya, maka MUI dapat dinilai sudah ‘menggadaikan’ agama untuk kepentingan politis. Terlepas dari persoalan polemik di seputar itu, pada bagian ini akan dikaji kontektualisasi hadits dihubungkan dengan fatwa MUI bahwa Golput haram.
Pada dasarnya, memilih pemimpin adalah suatu kebutuhan bagi setiap kelompok masyarakat. Bahkan memilih pemimpin itu menjadi suatu keharusan, seperti hadits diriwayatkan oleh Daraquthni dari Abi Sa’id Al Khudri, bahwa: “Apabila berkumpul tiga orang, maka salah seorang dari mereka menjadi imamnya”. Hadits ini jelas menunjukkan betapa pentingnya memilih pemimpin itu, karena sangat mustahil rasanya suatu masyarakat dapat hidup tenang, rukun, sejahtera atau lainnya tanpa ada seorang pemimpin di tengah-tengah mereka. Namun persoalannya, bagi sekelompok orang, sangat sulit untuk memilih pemimpin yang sesuai dengan ketentuan agama dan kehendak rakyatnya. Dalam konteks ini, Rasulullah SAW menegaskan bahwa salah satu kriteria pemimpin yang baik yang perlu untuk dipilih adalah pemimpin yang mencintai rakyat dan rakyat juga mencintainya. Sosok pemimpin yang demikian tentunya sangat sulit ditemukan, apalagi saat ini, hampir sebagian besar calon pemimpin yang tampil dalam kontes pesta demokrasi nanti adalah orang yang sudah diketahui keburukannya. Selain itu, para calon wakil rakyat yang konon akan memperjuangkan kepentingan rakyat, sudah acapkali membohongi rakyat dengan janji-janji kosongnya.
Fenomena di atas menjadi dasar bagi orang-orang yang memilih Golput dari pada memilih calon wakil atau pemimpin mereka yang ber-akhlak bejat. Sebuah realita yang baru-baru ini terjadi, di saat Pilkada Jawa Barat dan Jawa Tengah, ternyata yang menang adalah Golput. Pada Pilkada Jawa Barat yang menghasilkan pasangan Hade (Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf) berhasil meraup 7,3 juta suara, ternyata suara Golput lebih besar, yaitu mencapai 10 juta suara. Paling baru dan heboh di Jawa Tengah. Lagi-lagi Golput meraih kemenangannya.
Kenyataan di atas merupakan sebuah indikator dari kecilnya rasa kepercayaan masyarakat terhadap calon pemimpinnya, sehingga mereka lebih ikhlas tidak menggunakan hak pilihnya dari pada memilih pemimpin yang tidak bagi dalam pandangannya. Berangkat dari fenomena ini dan beberapa faktor pendukung lainnya, sehingga MUI mengeluarkan fatwa yang mengharamkan Golput.
Menurut hemat penulis, pada dasarnya terlalu berlebihan media massa mempolitisir hasil fatwa MUI, karena jika dilihat dan dikaji lebih proporsional, ternyata MUI tidak memfatwakan Golput haram secara mutlak, namun memberikan syarat yang jelas. Jika ada calon pemimpin yang memenuhi syarat seperti pada butir ke- 4 dari fatwa MUI, dan seorang muslim tidak menggunakan hak pilihnya, sikap seperti inilah yang diharamkan. Artinya, fatwa yang dikeluarkan MUI tersebut masih sangat longgar dan tidak berlaku secara general. Padahal, jika diamati hadits riwayat Muslim yang menjadi bahasan dalam makalah ini, lebih tegas muatannya, bahwa pemimpin yang masih melaksanakan shalat itu dilarang untuk memeranginya. Secara implisit, terkandung makna bahwa masih sangat dianjurkan untuk memilih pemimpin yang muslim walau tidak sesuai kriteria yang disyaratkan MUI asalkan ia masih shalat.
Berdasarkan argumentasi tersebut, penulis berkeyakinan hadits di atas sangat relevan dengan kondisi kekinian, dan fatwa hasil MUI itu tidak bertentangan dengan hadits yang tersebut. Selain itu, sikap Golput juga tidak dipersalahkan, karena itu adalah hak dan bukan kewajiban. Namun yang perlu dipikirkan bersama adalah implikasinya terhadap umat Islam, antara lain: (a) Kaum muslimin yang Golput/abstain pada hakikatnya akan memberikan kesempatan yang luas kepada non muslim untuk menancapkan kukunya dan mengobok-obok kehidupan umat Islam, (b) Umat Islam akan sulit berdialog dengan pemimpin non-muslim, karena mereka merasa tidak didukung, dan (c) Umat Islam suka atau tidak suka tetap harus mengikuti kebijakan pemerintah yang berkuasa (walaupun dia seorang pemimpin yang tidak baik), meski ia tidak memilihnya.
Berkaitan dengan point c di atas, Rasulullah SAW dengan jelas bersabda, yang artinya: “Setiap orang muslim harus mendengar (ucapan) dan taat atas (perintah pimpinannya) baik yang dia sukai maupun dia benci; selama dia tidak diperintahkan dengan maksiat. Jika diperintah untuk (berbuat) kemaksiatan, maka tidak boleh mendengarkan maupun mentaatinya”.[13] Hadits ini jelas berisi kewajiban untuk taat pada orang yang terpilih sebagai imamah atau pemimpin, apakah dia baik maupun jahat. Terkait dengan kataimamah ini, Ali Syariati[14] berpendapat bahwa imamah adalah ungkapan tentang pemberian petunjuk kepada ummah untuk mencapai suatu tujuan. Petunjuk itu bisa berupa kebaikan dan dapat pula berupa kesesatan. Dalam konsepsi agama, seorang muslim hanya wajib taat kepada pemimpinnya dalam hal kebaikan saja, bukan dalam hal kemaksiatan. Untuk itu, agar petunjuk yang diberikan adalah suatu kebaikan, maka pilihlah pemimpin yang sesuai dengan kriteria agama yaitu pemimpin yang sayang dan mau melindungi rakyatnya. Sekiranya kriteria itu sulit ditemukan, minimal pemimpin yang dipilih adalah orang yang seakidah dan masih melaksanakan kewajiban shalatnya.
C. Penutup
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
- Fatwa haram Golput yang dikeluarkan MUI ternyata cukup relevan dengan hadits riwayat Muslim yang menjadi fokus pembahasan.
- Hadits yang dibahas ternyata adalah hadits yang shahih, baik dari kajian pada aspek sanad maupun matannya.
- Hal yang paling utama diperhatikan dalam memilih seoran pemimpin adalah orang yang baik tentunya, yaitu pemimpin yang menyayangi rakyatnya dan rakyatnya juga menyayanginya, pemimpin yang mau mendoakan dan membantu rakyatnya dan rakyatnya juga demikian.
- Setiap muslim wajib taat kepada pemimpinnya, walaupun pemimpin tersebut tidak sesuai dengan pilihannya, asalkan indikatornya masih terpenuhi, yaitu pemimpin tersebut masih melaksanakan shalat. Karena itu, lebih baik memilih pemimpin yang muslim dari pada Golput, karena sikap Golput tersebut dapat memberikan peluang untuk terpilihnya pemimpin yang non muslim.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Asjmuni, Pengembangan Pemikiran terhadap Hadits, Yogyakarta: LPPI Univ. Muhammadiyah, 1996.
Al-Mundziri, Imam, Ringkasan Hadis Shahih Muslim, Jakarta: Pustaka Amani, 2003.
Hadits dalam CD Maktabah Syamilah
Haekal, Muhammad Husain, Sejarah Hidup Muhammad.
Mudzhar, M. Atho, Membaca Gelombang Ijtihad; Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998.
Rahardjo, M. Dawam, Ensiklopedi Al-Qur’an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 1996.
Thahadi, Miswan, 8 Pertanyaan & Jawaban Seputar Fatwa Haram Golput; Islam & Isu-isu Politik Menjelang Pemilu 2009, Jakarta: Al-I’tishom, 2009.
[1] Lihat Fatwa MUI pada butir ke 4 dan butir ke 5.
[2] Lihat opini ini dalam ANTARA news, judulnya: HMI minta MUI Madura Cabut Fatwa Haram Golput
[3] Lihat dalam CD Maktabah Syamilah Hadits nomor 4910. Lihat juga dalam Imam al-Mundziri, Ringkasan Hadis Shahih Muslim, hadits nomor 1228, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm 724.
[4] CD Maktabah Syamilah hadits nomor 3448, dalam kitab Shahih Muslim
[5] Ibid, … hadits nomor 22856, dalam kitab Musnad Ahmad
[6] Ibid, … hadits nomor 2853, dalam kitab Sunan Ad-Dharamy
[7] M. Syuhadi Ismail dalam Asjmuni Abdurrahman, Pengembangan Pemikiran terhadap Hadits,(Yogyakarta: LPPI Univ. Muhammadiyah, 1996), hlm. 6.
[8] Imam al-Mundziri, Ringkasan…hlm. 125.
[9] Ibid, hlm. 723. Hadits ini juga terdapat dalam Shahih Bukhari nomor 7144.
[10] Lihat Muhammad Husain Haekal dalam Sejarah Hidup Muhammad.
[11] Miswan Thahadi, 8 Pertanyaan & Jawaban Seputar Fatwa Haram Golput; Islam & Isu-isu PolitikMenjelang Pemilu 2009, (Jakarta: Al-I’tishom, 2009), hlm.45-46.
[12] M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad; Antara Tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), hlm. 138.
[13] Hadits riwayat Bukhari no.2955, 7144 dan Muslim no.1839 (38) dari Sahabat Ibnu Umar.
[14] Lihat M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 486